Cendikia dan Humoris
Kyai yang bersahaja itu telah wafat.
Menyisakan beribu ribu tangis air mata di belakangnya. Almarhum K.H Moh. Romzi
Al Amiri Mannan nama Kyai tersebut. Beliau adalah Mudir Ma’had Aly Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Namun, nyatanya tidak. Esensi
keberadaan beliau di dunia ini masih terasa oleh kebanyakan masyarakat disekitar.
Dilihat dan ditilik dari kitab-kitab yang sudah rampung beliau karang dengan
perkiraan 72 judul (Tutur Kyai muda Ahmad Barizi yang mana beliau adalah
menantu Kyai Romzi). Nyatanya sudah banyak dikaji masyarakat juga santri.
Ditengah kesibukan beliau yang sangat padat
oleh acara tabligh. Hampir dikatakan tidak ada waktu luang di setiap harinya.
Karena, waktu kosong yang beliau punya selalu diisi dengan mengarang kitab.
Dari sini, tahulah kita bahwa beliau termasuk salah satu Kyai yang produktif
dan Hobi menulis. Tidak hanya unggul dalam karang mengarang kitab. Beliau juga
salah seorang penceramah multitalenta. Baik itu sekedar acara rumahan semisal
walimah, hingga acara-acara seminar resmi di perguruan tinggi. Tercatat beliau
juga salah seorang dosen di Universitas Nurul Jadid, Paiton Probolinggo.
Keras dan disiplin keperibadiannya, namun
lembut dalam membina keluarga. Sifatnya tidak memaksakan kehendak atas
putera-puteranya dalam menuntut ilmu. Sesuai dawuh Kyai Hilman Zidny selaku
putera beliau. Sebut saja ketika mendidik Kyai Hilman, beliau memberikan
kepasrahan kepada anaknya.
Subhanallah,
Namun siapa sangka di balik kebersahajaan dan kesederhanaannya, beliau adalah
bak mutiara tersembunyi di antara celah-celah batu karang lautan, intan permata
di antara hamparan bebatuan, kayu gaharu di antara deretan pepohonan di tengah
lebatnya hutan belantara. Laik mutiara-mutiara jatuh bertuturan dari lisan
beliau saat berceramah. Guyon jernih dari imunya ketika berceramah membuat
gelak tawa membahana di dalam mejelis.
Umpama
cerita beliau saat menjadi penceramah di salah satu tempat:
Saat
beliau sedang berada di dhalem(1)
, kedatangan tamu empat laki-laki berpakaian rapi. Setelah ditanya dan
basa-basi sedikit, mereka datang bertamu selain untuk bersilaturahim sekaligus
ingin berdialog dengan Kyai Romzi.
“Saya
ini aliran HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)” ucap tamu pertama memulai
pembicaraan. “Saya ini katanya aliran yang tersesat, aliran yang terlarang. Padahal
NU (Nahdhatul Ulama)”. (2)
“Siapa
NU?” Tanya Kyai Romzi memancing. Sedang beliau tahu bahwa tamu yang datang
tidak mencari kebenaran, melainkan mencari kemenangan atas semua hujjahnya.
“Ya
Ustadz!”
“Apa
Bid’ah” sekali lagi beliau tetap memancing.
“Ya bid’ah
itu pokoknya setiap sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasul!”
“Oh, begitu. Apa contohnya?”
“Ya,
seperti Tahlil, Barzanji, Dhiba’, Maulidan, Nuzulul Qur’an, Halal Bi Halal. Itu
tidak ada di zaman Nabi!”
“Mas, kesini (dhalem) naik apa?”
“Sepeda
motor”.
“Lah,
Itu bid’ah. Rasulullah dahulu tidak pernah naik sepeda motor”.
“….”.
Tamu 4 orang tadi lantas diam.
Sontak
seluruh hadirin tertawa. Memang benar apa yang dikatakannya. Meski itu hal baru
juga bid’ah, sepeda motor termasuk bid’ah yang baik. Tidak menutup kemungkinan
bahwa tahlil yang dianggap bid’ah oleh kaum tersebut adalah suatu hal yang
sangat baik sesungguhnya. Walau tidak
ada di zaman nabi Muhammad S.A.W.
Setelah
puas mendengar hujjah tamunya yang notabene dijatuhkan kepada dirinya. Beliau
masuk ke dapur menyuruh Nyai Latifah (3) membuatkan nasi rawon lima
piring. Empat tanpa sendok dan satu dengan sendok untuk beliau beliau.
“Mari Mas, shodaqoh saya” dengan senyum kekhasan beliau.
“sendoknya
mana Kyai” Tanya salah seorang tamu, terheran-heran.
“Bid’ah!
Rasulullah makan tidak pernah pakai sendok.” Ucap Kyai Romzi dengan senyum
khasnya.
Sekali
lagi hadirin ketawa mendengar cerita beliau meladeni tamu-tamunya.
Jelaslah,
beliau tidak selalu monoton dalam mengayomi masyarakat. Sedikit demi sedikit,
dengan guyonnya beliau mencampur
kekhasan dalam berceramah dengan teknik ilmu yang dimiliki.
Beliau
juga termasuk seorang ayah yang sangat baik. Seperti kutipan Kyai Hilmansaat masih
menjalani penugasan di tanah Madura.
“nak,
Jikalau ada orang yang tidak suka kepada kita sudah biasa. Itu adalah cobaan di
masyarakat ya seperti itu. Jadi, tidak semua orang yang senang di hadapan kita
senang kepada kita. Kalau kita cuma cukup dua tangan tidak mampu untuk menutup
beribu-ribu mulut, maka kita cukup untuk menutup kedua telingan kita”.
Subhanallah.
Ghafarallah.
1.
Dhalem:
kediaman tokoh.
2.
Dialog
ini terjadi sebelum keluarnya undang-undang dihapusnya aliran HTI.
3.
Isteri
Al-Marhum Kyai Moh. Romzi Al-Amiri mannan.
Nuril L.J adalah penulis muda yang terus
berdedikasi membuat karangan untuk negeri. Dia juga termasuk salah seorang
santri aktif di Pondok pesantren Nurul Jadid.
Lahir di banyuwangi 19 tahun yang lalu. Sebelumnya pernah mengenyam
pendidikan di salah satu pondok pesantren di Banyuwangi sebelum akhirnya
mengabdikan dirinya di Nurul Jadid.
Di sadur dari wawancara dengan K. Ahmad barizi dan K. Hilman
BalasHapus